Jangan Pukul Pantatku,
Bu Guru!
Pagi ini, tidak ada lagi sarapan
enak yang dibuat Mama. Hari ini adalah hari pasar. Mama cepat-cepat pergi ke
pasar untuk menjual dagangan sayurnya karena pasar Senin Kamis hanya sampai jam
dua belas siang. Setiap hari Senin dan Kamis, setelah shalat subuh Mama
mempersiapkan semua barang dagangan dan berangkat ke pasar saat ayam bekokok
atau sebelum fajar tiba.
Saya meminta Ayah untuk membuat
sarapan pagi karena saya sering sakit perut kalau tidak sarapan pagi. Kata Ibu
guru, kita akan terkena penyakit mag kalau sering tidak sarapan pagi. Sebelum berangkat
kerja, Ayah mencoba membuat nasi goreng penggoyang lidah katanya. Dia menjuju
ke dapur dengan hanya memakai sarung dan baju tidurnya. Ayah memang tidak ahli
memasak tapi dengan bekal ilmu memasak dari Master Chef yang sering ditontonnya
di TV, dia yakin bisa memasak. Ayah membersihkan alat dapur dan mengumpulkan
bahan makanan. Ayah menguatkan sarung yang akan melorot. Dengan semangat Ayah mulai
menyalakan kompor dan meletakkan alat masak di atasnya. Percaya dirinya tampak
saat dia menuangkan satu persatu bahan makanan. Menuangkan nasi, telur,
kangkung, bumbu, dan bahan-bahan lainnya. Nasi gorengnya seperti gado-gado
banyak sekali campur-campurnya. Ayah terus mengaduk hingga rata dan masak.
“Tadaaa…nih, masakan ayah! Nasi
goreng penggoyang lidah. Umm, aromanya sangat sedap. Cobain deh!” Ucap Ayah
dengan menyodorkan nasi gorengnya di meja.
“Aromanya memang sedap, tapi nasi
gorengnya mirip bubur. Mungkin ini namanya nasi bubur goreng bukan nasi goreng
pengoyang lida,” gumamku dalam hati. “saya coba makan, mudah-mudahan lezat.”
Kataku mengunyah masakan Ayah.
“Gimana rasanya? Enak kan masakan
Ayah?” Tanya Ayah penasaran.
“Enak.” Jawabku. Meskipun rasanya
hambar tapi saya sangat menghargai apa yang telah dilakukan dan kerja kerasnya.
setelah makan, Ayah mengantar saya
ke sekolah. Biasanya saya ke sekolah bersama teman-teman naik dokar. Hari ini
Ayah sangat baik, selain mengantar saya ke sekolah dia juga memberi uang jajan.
Saya tidak pernah meminta uang jajan ke orang tuaku karena saya tahu kondisi
keuangan mereka. Sebelum masuk ke sekolah, saya mencium tangan Ayah. Ayah
menyuruh saya untuk belajar dengan rajin dan tekun supaya saya jadi anak
berprestasi yang bisa membanggakan kedua orang tua.
Pelajaran hari ini adalah
matematika. Ibu Rabiah yang akan mengajar, dia guru yang sangat disiplin daan
agak galak. Semua murid duduk tenang saat dia menerangkan.
“Pagi anak-anak!” Teriak Bu Rabiah
di pintu.
“Pagi…Bu guru!” Balas semua murid
serentak.
“Bersediaaaa…Ucapkan salam!”
teriak ketua kelas.
“Assalaaamuualaikum warahmatullahi
wabarakatuuuu.” Ucap semua murid dengan nada panjang yang hampir sepanjang
membaca satu surah.
“Baiklah anak-anak kita akan
mempelajari penjumlahan dan pengurangan. Naikkan buku matematika kalian!
Sebelum ibu mulai menjelaskan, ibu mau absen nama kalian dulu.” Membuka buku
absen.
Setelah ibu Rabiah mengabsen kami
satu persatu, dia pun mulai menjelaskan. Karena cara menjelaskan ibu rabiah kurang
menarik sehingga banyak murid yang izin keluar. Mereka keluar masuk. Ibu Rabiah
lansung melarang murid untuk keluar lagi. Tiba-tiba perutku mules.
“Bu, boleh saya izin keluar ke WC?
Perut saya mules, kayaknya saya mau buang air besar, Bu.” Jelasku memegang
perut dan menahannya sekut tenaga.
“Tidak boleh! Itu perasaan dan alasan
kamu saja. Tetap duduk dan kerjakan tugas kalian.” Katanya memasak muka galak.
Saya pun hanya
duduk karena takut. Saya duduk membatu dan memaku, diam saja tanpa suara lagi.
Ibu Rabiah mulai lanjut menjelaskan soal yang kurang dimengerti. Setelah
selesai menjelaskan, dia mencium bau busuk yang seperti bau kentut tapi bau ini
lama. Kalau kentut hanya sebentar saja baunya. Dia bertanya.
“Apakah kalian menciuam bau busuk
di ruangan ini? Coba periksa sepatu kalian, mungkin ada salah satu dari kalian
yang menginjak kotoran hewan!”
Semua Murid
memeriksa sepatunya, saya memeriksa sepatu sambil duduk berkata,”mungkin
perasaan atau penciuman ibu saja.”
Ibu Rabiah ingin
cepat-cepat kelaur, dia menyuruh semua murid untuk mengumpul PR yang telah
diberikan seminggu yang lalu. Saya lupa membawa bukunya. PR itu sudah saya
kerjakan tapi Ibu Rabiah tidak menerima alasan, dan saya harus menerima
hukuman. Ibu Rabiah memanggil saya. Saya sebenarnya sangat tidak ingin berdiri
tapi Ibu Rabiah memaksa. Saya berdiri dan berjalan perlahan mendekatinya.
“Jangan pukul pantatku!” kataku
karena ku tahu Ibu Rabiah sering memukul pantat dengan tangannya jika memberi
hukuman. Namun dia tetap mengayunkan tangannya dan memukul pantatku tiga kali.
Saat dia merasa ada yang aneh dengan tangannya. Tangannya yang basah berwarna
langsung mencium. Ketika dia mencium bau tangannya, saya langsung lari keluar.
Lari membawa malu. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar