Minggu, 26 Juli 2015

Cerpen - Impian Anak Buruh Nelayan


Impian Anak Buruh Nelayan 
( oleh Abd. Rahman  )
              Aku harus bangun dari tidurku untuk membuat mimpiku jadi kenyataan. kuliah di Perguruan Tinggi Negri adalah mimpi semua siswa kelas tiga SMA yang ada di setiap khayalan dan angan-angan mereka. Ketika teman-teman asyik mengutarakan universitas favoritnya dan jurusan yang akan mereka pilih, Aku hanya bisa membisu ketika segelintir pertanyaan akan lanjut kuliah atau tidak, mau kuliah di mana dan pilih jurusan apa. Pertanyaan yang benar-benar sulit untuk menjawabnya karena rumus penyelesaiannya belum Aku ketahui. Jangankan lanjut ke perguruan tinggi, uang transportasi untuk ke sekolah saja harus meminjam sama tetangga . Setiap pagi Ibuku  harus  mengetok pintu rumah tetangga hanya untuk meminjamkan uang Rp4.000 ( empat ribu rupiah ) sebagai uang transportasi ke sekolah. Terkadang Ibuku mendatangi tiga sampai lima rumah tetangga baru mendapatkan uang pinjaman. Kalau Ibu mendapat uang, Ibu selalu mengambilkan tas sekolahku yang di dalamnya telah dimasukkan uang yang hanya cukup untuk sewa angkot ke sekolah.
 Lima suap nasi, beberapa butir garam dan banyak minum air sudah bisa membuat perut ini bertahan hingga jam dua siang. Sedih rasanya, ketika ku harus melepas seragam sekolahku saat Ibu tidak mendapatkan uang sewa angkot ke sekolah. Tas aku simpan dan sabit aku ambil lalu pergi ke kebun membantu Bapak mencari makanan kambing. Tak ingin Aku melihat dua tiga orang datang menagi utang – utang Ibu. Ibu banyak utang pasti karena Aku. Hingga kuputuskan untuk bekerja supaya bisa memebantu melunasi utang – utang ibuku, bagaimanapun caranya yang penting halal. Hanya ada satu pekerjaan yang tidak bersamaan waktu sekolahku yaitu jadi buruh nelayan di Pelelangan ikan Birea. Waktu kerjanya mulai jam 10:30 malam sampai jam 06:30 pagi. Pekerjaan yang sangat mengerikan dan penuh resiko tinggi.
Malam gelap sunyi sepi tanpa cahaya bulan dan lampu jalan, Aku berjalan dengan kaki telanjang , ember dan senter di tangan, dan sarung terikat di pinggang. Aku telusuri lorong-lorong, jalan raya, dan pantai bersama temanku Resky. Resky anak yang tegar telah merasa dirinya yatim piatu karena kedaua orang tuanya pergi meninggalkannya. Ibunya pergi ke Malaysia bersama laki-laki dan menikah di sana sedangkan ayahnya juga pergi bersama perempuan selingkuhannya ke Mamuju. Kini tinggallah dia seorang diri bersama neneknya. Untuk bertahan hidup dan merawat neneknya, Resky ikut bersamaku pergi tilarak ( buruh nelayan ) di Birea.
Banyak yang menakutkan dan membahayakan yang harus kami lewati setiap malam-malam sunyi. Di lorong-lorong, anjing-anjing hitam mata menyala selalu menghadang dan menggonggong bahkan sering mengejar kami plontang-planting. Aku tak pernah melepaskan genggaman tangan Resky dan kubawa berlari.  Kecepatan lariku saat itu bisa mengalahkan kecepatan lari para atlet. Pagar tinggi pun bisa kulompati.  Bukan hanya itu rintangan yang harus kami lewati, kami harus  menunduk dan membaca doa-doa dan surah pendek yang kami hafal ketika melewati kuburan yang masih tercium bau bunga-bunga dan lilin yang masih menyala di atas permukaan kuburan. Aku membaca surah Annas dan Resky hanya bisa mengucapkan bismillah dan memberi salam sambil memegang erat tanganku. Aku takut sekali, takut kalau salam Resky ada yang jawab. Melewati kuburan , menulusuri pantai melawan angin malam menjauhi ombak besar yang menghempaskan dirinya kebatuan. Langkah kaki kami harus hati-hati karena ada bom yang ditanam di dalam pasir setiap paginya orang-orang yang tinggal di dekat pantai. Karena mereka menjadikan pantai sebagai WC terluas. Mereka menggali lubang kecil dan buaker  ( buang air keras ) di lubang itu, setelah itu di timbung mirip cara kucing kalau lagi buang kotoran. Sehingga banyak orang yang jalan-jalan di pinggir pantai menginjak ranjau-ranjau itu.
Tidur di pinggir pantai tanpa alas hanya sarung membungkus badan dan kepala dimasukkan ke ember supaya pasir-pasir tidak masuk ke telinga. Suara kapal-kapal nelayan membangunkan dari nyenyak tidur kami.
“ Risky bangun, kapal sudah mendekat, ambil embermu. Tugasmu hanya mengambil air laut, pergi membeli es batu dan memecahkan es batu kalau ada pedagang ikan yang menyuruhmu.” Perintahku sambil mengoyang-goyangkan badan Resky.
“ Kalau kakak, mau ngapain dan kenapa buka baju?” tanyanya penasaran sambil membersihkan air liur di pipihnya.
“ Aku mau mengangkat ikan dari kapal ke daratan,kalau kapal itu sudah mendekat Aku harus berenang ke kapal untuk menaruh emberku di keranjang sebagai tanda kalo ikan di tempat itu Aku yang angkat. Lihat, puluhan orang sudah berendam di air dan siap berlomba menuju ke kapal untuk menaruh embernyadiatas keranjang. Jadi,  kalau aku terlambat, aku tidak akan dapat mengangkat ikan.” Jelasku.
“Pluuungg!” Aku melompat dari atas dermaga dan membawa ember yang kujadikan pelampung. Kapal masih berada sekitar tiga ratus meter dari dermaga. Banyak orang dan para dokter mengatakan kalau mandi pada malam hari akan mendatangkan penyakit karena pori-pori kulit terbuka. Aku tidak mandi malam, tapi berendam dan berenang mulai jam 12:00 malam sampai pagi. Ombak besar dan kencangnya angin malam di laut tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan sepuluh ekor ikan setiap sekali angkat keranjang. Sepuluh ekor ikan yang bisa Aku jual lima ribu rupiah. Mengangkat ikan yang beratnya sama dengan dua galon air ke daratan yang berjarak kurang lebih lima puluh meter. Yang sangat menyiksa ketika air laut surut, jaraknya bisa mencapai ratusan meter. Badan mandi air ikan dan punggung berdarah teriris bambu keranjang, itu tidak apa-apa yang penting aku bisa menyelesaikan sekolah tanpa membebani orang tua dan bisa mengurangi beban mereka. Pagi-pagi sekali, Aku dan Resky menjual ikan kami di lorong-lorong kampung dan tetangga, sisanya kami bakar dan makan bersama.
Aku mandi sangat lama hingga setengah jam lebih tetapi bau ikan di badanku tidak hilang. Teman-teman di kelas tidak mau duduk berdekatan karena Aku bau ikan. Aku tidak malu dengan badanku yang bau ikan dan temanku yang memanggilku penjual ikan tetapi Aku akan sangat malu jika harus putus sekolah. Berhenti sekolah karena tidak punya biaya adalah sangat memalukan buat Aku. Akan Aku gores sebuah sejarah bahwa anak seorang buta huruf juga bisa dan mampu sekolah. Kalau Aku punya orang tua buta huruf, Aku tidak mau anak-anakku punya orang tua seperti Aku yang pendidikannya rendah.
Diriku dengan setumpuk harapan kucoba sampaikan ke orang tuaku keinginanku untuk kuliah.
“ Bu, pak saya mau sekali kuliah.” Harapku
“ Tapi bapak tidak punya uang nak, barang-barang yang bisa kita jual juga tidak ada. Kita hanya punya kambing dua ekor dan aku rasa itu tidak cukup. Jadi kalau kamu berharap kami bisa menguliahkanmu, kami tidak mampu melakukan itu, bapak minta maaf,nak.” Ucap bapakku sedih.
“ Kami hanya bisa membantu kamu dengan doa, kami hanya berharap Allah membukakan jalan untukmu.” Kata ibu meneteskan air matanya sambil mengusap-usap kepalaku dan memelukku.
“Iya tidak apa-apa bu, bapakku benar. Aku sudah sangat bersyukur jika kalian hanya bisa membantuku dengan doa.” Ucapku dengan tegar.
  Aku harus bisa membuat sebuah jalan menuju mimpiku. Mimpi bisa kuliah di Perguruan Tinggi Nengri.  Mengurus beberapa beasiswa salah satu jalannya. Aku mengurus beasiswa lebih dari satu, termasuk salah satunya yaitu Bidik Misi dan Etos. Kesana kemari menyiapkan berkas dan persyaratan. Surat penghasilan orang tua, surat keterangan tidak mampu, dan lain-lainnya. Subhanallah, Allah memberikan hasil bagi orang-orang yang berusaha dan memberikan kemudahan setelah kesulitan. Allahamdulillah ucapan syukurku yang tak terukur kepada Allah, aku diterima di Perguruan Tinggi Negri Universitas Hasanuddin dan lolos sebagai penerima  beasiswa Bidik Misi.
Peluang yang tak terulang, kesempatan harus di manfaatkan. Menabung uang hasil jual ikan selama dua minggu untuk biaya ke Makassar hanya mampu mengumpulkan uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. orang tuaku hanya mampu memberiku uang seratus ribu rupiah  dan beras lima liter. Ke Makassar hanya modal nekat dengan membawa uang sebanyak dua ratus lima puluh ribu rupiah adalah semangatku ingin untuk kuliah.
Di Makassar numpang di kost teman selama pendaftaran ulang di Unhas karena uangku tidak cukup sewa kost. Setelah seminggu tinggal di kost temanku, pemilik kost mengetahuinya dan  memangilku. Dia membawaku di sebuah kamar kosong dan bertanya kepadaku.
“ Siapa namamu dan siapa yang memberimu izin numpang di kost ini?” tanya dengan tatapan sinis dan tajam.
“ Ra…Ra..Rahman pak. Maaf pak, Aku numpang di kost bapak untuk sementara”. Jawabku gugup
“Kamu tidak boleh numpang disini, kost ini hanya untuk satu orang. Kamu harus ambil satu kamar. Kamu hanya bayar tujuh ratus ribu rupiah saja sebagai uang panjarnya. Kalau tidak, silahkan angkat barangmu dan pergi.” Tegasnya
“Tapi pak, aku belum punya uang, aku juga menunggu pengumuman beasiswa. Jika aku lulus, aku akan tinggal asrama. Jadi tolonglah pak, izinkan aku numpang beberapa hari lagi.” Pintaku penuh harap
“Tidak bisa kamu numpang lagi disini. Jalan satu-satunya adalah kamu harus ambil satu satu kamar atau pergi dari sini. Bagaimana kalau kamu tidak lulus beasiswa itu,apakah kamu akan terus numpang di sini. Berapa uang yang kamu punya?” tanyanya tegas.
“ Aku hanya punya uang seratus lima puluh ribu rupiah, pak. Bisakah aku mendapatkan satu kamar dengan membayar seratus ribu rupiah dulu ?.Jika aku tidak lulus beasiswa itu aku akan melanjutkan sewa kost disini dan menambah uang ini.” Pintaku sambil menyodorka uang seratus ribu.
“ Oke, uangmu saya ambil. Kamu bisa ambil kamar yang di ujung dekat WC itu. Kamar itu sudah lama tidak ada yang mau menghuninya. Jadi kamu bersihkan dulu. Dan ingat jika satu minggu kamu tetap tinggal di sini itu berarti kamu menyewa kamar itu dan kamu harus tambah uang ini enam ratus ribu.” Katanya sambil memberikan kunci kamarnya.
“ Terimah kasih pak, bapak mau memberiku kesempatan. Sekali lagi makasih pak.” Ucapku bahagia
Kamar yang luasnya sekitar tiga meter persegi kubersihkan sampai magrib. Aku sholat magrib di kamar itu. Di sujud terakhirku kupanjatkan doa.
“Ya Allah ya Rahman ya Rahim. Hanya kepadamu aku menyembah dan memohon pertolongan. Sekarang aku memohon kepadaMu untuk memberiku kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi semua ini. Kuyakin Engkau tak akan memberiku ujian di luar kemampuanku”. Doa dalam sujudku.
Selesai berdoa kupergi ke kamar temanku meminjam Hpnya dan  kutelphon salah  satu panitia seleksi beasiswa Etos dan menanyakan apakah aku lolos. Alhamdulillah , Allah menjawab doaku . Aku diterima di beasiswa Etos dan malam itu juga aku bisa masuk asrama Etos. Semua barangku kuangkat dan meminta uangku sama pak Haji. Aku tidak jadi sewa kots. Aku ucapakan banyak terimah kepadanya.  Ku bersyukur Allah telah memberiku kemudahan dalam setiap kesulitanku, manis dalam setiap pahitku. Aku hanya  mengatakan selalu ada jalan bagi orang-orang yang mau melangkah. Sekian .  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar