Impian Anak Buruh
Nelayan
( oleh Abd. Rahman )
Aku
harus bangun dari tidurku untuk membuat mimpiku jadi kenyataan. kuliah di
Perguruan Tinggi Negri adalah mimpi semua siswa kelas tiga SMA yang ada di
setiap khayalan dan angan-angan mereka. Ketika teman-teman asyik mengutarakan
universitas favoritnya dan jurusan yang akan mereka pilih, Aku hanya bisa
membisu ketika segelintir pertanyaan akan lanjut kuliah atau tidak, mau kuliah
di mana dan pilih jurusan apa. Pertanyaan yang benar-benar sulit untuk
menjawabnya karena rumus penyelesaiannya belum Aku ketahui. Jangankan lanjut ke
perguruan tinggi, uang transportasi untuk ke sekolah saja harus meminjam sama
tetangga . Setiap pagi Ibuku harus mengetok pintu rumah tetangga hanya untuk
meminjamkan uang Rp4.000 ( empat ribu rupiah ) sebagai uang transportasi ke
sekolah. Terkadang Ibuku mendatangi tiga sampai lima rumah tetangga baru
mendapatkan uang pinjaman. Kalau Ibu mendapat uang, Ibu selalu mengambilkan tas
sekolahku yang di dalamnya telah dimasukkan uang yang hanya cukup untuk sewa
angkot ke sekolah.
Lima suap nasi, beberapa butir garam dan
banyak minum air sudah bisa membuat perut ini bertahan hingga jam dua siang.
Sedih rasanya, ketika ku harus melepas seragam sekolahku saat Ibu tidak
mendapatkan uang sewa angkot ke sekolah. Tas aku simpan dan sabit aku ambil
lalu pergi ke kebun membantu Bapak mencari makanan kambing. Tak ingin Aku
melihat dua tiga orang datang menagi utang – utang Ibu. Ibu banyak utang pasti
karena Aku. Hingga kuputuskan untuk bekerja supaya bisa memebantu melunasi
utang – utang ibuku, bagaimanapun caranya yang penting halal. Hanya ada satu
pekerjaan yang tidak bersamaan waktu sekolahku yaitu jadi buruh nelayan di
Pelelangan ikan Birea. Waktu kerjanya mulai jam 10:30 malam sampai jam 06:30
pagi. Pekerjaan yang sangat mengerikan dan penuh resiko tinggi.
Malam
gelap sunyi sepi tanpa cahaya bulan dan lampu jalan, Aku berjalan dengan kaki
telanjang , ember dan senter di tangan, dan sarung terikat di pinggang. Aku
telusuri lorong-lorong, jalan raya, dan pantai bersama temanku Resky. Resky
anak yang tegar telah merasa dirinya yatim piatu karena kedaua orang tuanya
pergi meninggalkannya. Ibunya pergi ke Malaysia bersama laki-laki dan menikah
di sana sedangkan ayahnya juga pergi bersama perempuan selingkuhannya ke
Mamuju. Kini tinggallah dia seorang diri bersama neneknya. Untuk bertahan hidup
dan merawat neneknya, Resky ikut bersamaku pergi tilarak ( buruh nelayan ) di Birea.
Banyak
yang menakutkan dan membahayakan yang harus kami lewati setiap malam-malam
sunyi. Di lorong-lorong, anjing-anjing hitam mata menyala selalu menghadang dan
menggonggong bahkan sering mengejar kami plontang-planting. Aku tak pernah
melepaskan genggaman tangan Resky dan kubawa berlari. Kecepatan lariku saat itu bisa mengalahkan
kecepatan lari para atlet. Pagar tinggi pun bisa kulompati. Bukan hanya itu rintangan yang harus kami
lewati, kami harus menunduk dan membaca
doa-doa dan surah pendek yang kami hafal ketika melewati kuburan yang masih
tercium bau bunga-bunga dan lilin yang masih menyala di atas permukaan kuburan.
Aku membaca surah Annas dan Resky hanya bisa mengucapkan bismillah dan memberi
salam sambil memegang erat tanganku. Aku takut sekali, takut kalau salam Resky
ada yang jawab. Melewati kuburan , menulusuri pantai melawan angin malam
menjauhi ombak besar yang menghempaskan dirinya kebatuan. Langkah kaki kami
harus hati-hati karena ada bom yang ditanam di dalam pasir setiap paginya
orang-orang yang tinggal di dekat pantai. Karena mereka menjadikan pantai
sebagai WC terluas. Mereka menggali lubang kecil dan buaker ( buang air keras )
di lubang itu, setelah itu di timbung mirip cara kucing kalau lagi buang
kotoran. Sehingga banyak orang yang jalan-jalan di pinggir pantai menginjak ranjau-ranjau
itu.
Tidur
di pinggir pantai tanpa alas hanya sarung membungkus badan dan kepala
dimasukkan ke ember supaya pasir-pasir tidak masuk ke telinga. Suara
kapal-kapal nelayan membangunkan dari nyenyak tidur kami.
“
Risky bangun, kapal sudah mendekat, ambil embermu. Tugasmu hanya mengambil air
laut, pergi membeli es batu dan memecahkan es batu kalau ada pedagang ikan yang
menyuruhmu.” Perintahku sambil mengoyang-goyangkan badan Resky.
“
Kalau kakak, mau ngapain dan kenapa buka baju?” tanyanya penasaran sambil
membersihkan air liur di pipihnya.
“
Aku mau mengangkat ikan dari kapal ke daratan,kalau kapal itu sudah mendekat Aku
harus berenang ke kapal untuk menaruh emberku di keranjang sebagai tanda kalo
ikan di tempat itu Aku yang angkat. Lihat, puluhan orang sudah berendam di air
dan siap berlomba menuju ke kapal untuk menaruh embernyadiatas keranjang.
Jadi, kalau aku terlambat, aku tidak
akan dapat mengangkat ikan.” Jelasku.
“Pluuungg!”
Aku melompat dari atas dermaga dan membawa ember yang kujadikan pelampung.
Kapal masih berada sekitar tiga ratus meter dari dermaga. Banyak orang dan para
dokter mengatakan kalau mandi pada malam hari akan mendatangkan penyakit karena
pori-pori kulit terbuka. Aku tidak mandi malam, tapi berendam dan berenang
mulai jam 12:00 malam sampai pagi. Ombak besar dan kencangnya angin malam di
laut tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan sepuluh ekor ikan setiap sekali
angkat keranjang. Sepuluh ekor ikan yang bisa Aku jual lima ribu rupiah.
Mengangkat ikan yang beratnya sama dengan dua galon air ke daratan yang
berjarak kurang lebih lima puluh meter. Yang sangat menyiksa ketika air laut
surut, jaraknya bisa mencapai ratusan meter. Badan mandi air ikan dan punggung
berdarah teriris bambu keranjang, itu tidak apa-apa yang penting aku bisa
menyelesaikan sekolah tanpa membebani orang tua dan bisa mengurangi beban
mereka. Pagi-pagi sekali, Aku dan Resky menjual ikan kami di lorong-lorong
kampung dan tetangga, sisanya kami bakar dan makan bersama.
Aku
mandi sangat lama hingga setengah jam lebih tetapi bau ikan di badanku tidak
hilang. Teman-teman di kelas tidak mau duduk berdekatan karena Aku bau ikan.
Aku tidak malu dengan badanku yang bau ikan dan temanku yang memanggilku
penjual ikan tetapi Aku akan sangat malu jika harus putus sekolah. Berhenti
sekolah karena tidak punya biaya adalah sangat memalukan buat Aku. Akan Aku
gores sebuah sejarah bahwa anak seorang buta huruf juga bisa dan mampu sekolah.
Kalau Aku punya orang tua buta huruf, Aku tidak mau anak-anakku punya orang tua
seperti Aku yang pendidikannya rendah.
Diriku
dengan setumpuk harapan kucoba sampaikan ke orang tuaku keinginanku untuk
kuliah.
“
Bu, pak saya mau sekali kuliah.” Harapku
“
Tapi bapak tidak punya uang nak, barang-barang yang bisa kita jual juga tidak
ada. Kita hanya punya kambing dua ekor dan aku rasa itu tidak cukup. Jadi kalau
kamu berharap kami bisa menguliahkanmu, kami tidak mampu melakukan itu, bapak
minta maaf,nak.” Ucap bapakku sedih.
“
Kami hanya bisa membantu kamu dengan doa, kami hanya berharap Allah membukakan
jalan untukmu.” Kata ibu meneteskan air matanya sambil mengusap-usap kepalaku
dan memelukku.
“Iya
tidak apa-apa bu, bapakku benar. Aku sudah sangat bersyukur jika kalian hanya
bisa membantuku dengan doa.” Ucapku dengan tegar.
Aku harus bisa membuat sebuah jalan menuju
mimpiku. Mimpi bisa kuliah di Perguruan Tinggi Nengri. Mengurus beberapa beasiswa salah satu
jalannya. Aku mengurus beasiswa lebih dari satu, termasuk salah satunya yaitu
Bidik Misi dan Etos. Kesana kemari menyiapkan berkas dan persyaratan. Surat
penghasilan orang tua, surat keterangan tidak mampu, dan lain-lainnya.
Subhanallah, Allah memberikan hasil bagi orang-orang yang berusaha dan
memberikan kemudahan setelah kesulitan. Allahamdulillah ucapan syukurku yang
tak terukur kepada Allah, aku diterima di Perguruan Tinggi Negri Universitas
Hasanuddin dan lolos sebagai penerima
beasiswa Bidik Misi.
Peluang
yang tak terulang, kesempatan harus di manfaatkan. Menabung uang hasil jual
ikan selama dua minggu untuk biaya ke Makassar hanya mampu mengumpulkan uang
sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. orang tuaku hanya mampu memberiku uang
seratus ribu rupiah dan beras lima
liter. Ke Makassar hanya modal nekat dengan membawa uang sebanyak dua ratus
lima puluh ribu rupiah adalah semangatku ingin untuk kuliah.
Di
Makassar numpang di kost teman selama pendaftaran ulang di Unhas karena uangku
tidak cukup sewa kost. Setelah seminggu tinggal di kost temanku, pemilik kost
mengetahuinya dan memangilku. Dia
membawaku di sebuah kamar kosong dan bertanya kepadaku.
“
Siapa namamu dan siapa yang memberimu izin numpang di kost ini?” tanya dengan
tatapan sinis dan tajam.
“
Ra…Ra..Rahman pak. Maaf pak, Aku numpang di kost bapak untuk sementara”.
Jawabku gugup
“Kamu
tidak boleh numpang disini, kost ini hanya untuk satu orang. Kamu harus ambil
satu kamar. Kamu hanya bayar tujuh ratus ribu rupiah saja sebagai uang
panjarnya. Kalau tidak, silahkan angkat barangmu dan pergi.” Tegasnya
“Tapi
pak, aku belum punya uang, aku juga menunggu pengumuman beasiswa. Jika aku
lulus, aku akan tinggal asrama. Jadi tolonglah pak, izinkan aku numpang
beberapa hari lagi.” Pintaku penuh harap
“Tidak
bisa kamu numpang lagi disini. Jalan satu-satunya adalah kamu harus ambil satu
satu kamar atau pergi dari sini. Bagaimana kalau kamu tidak lulus beasiswa
itu,apakah kamu akan terus numpang di sini. Berapa uang yang kamu punya?”
tanyanya tegas.
“
Aku hanya punya uang seratus lima puluh ribu rupiah, pak. Bisakah aku
mendapatkan satu kamar dengan membayar seratus ribu rupiah dulu ?.Jika aku
tidak lulus beasiswa itu aku akan melanjutkan sewa kost disini dan menambah
uang ini.” Pintaku sambil menyodorka uang seratus ribu.
“
Oke, uangmu saya ambil. Kamu bisa ambil kamar yang di ujung dekat WC itu. Kamar
itu sudah lama tidak ada yang mau menghuninya. Jadi kamu bersihkan dulu. Dan
ingat jika satu minggu kamu tetap tinggal di sini itu berarti kamu menyewa
kamar itu dan kamu harus tambah uang ini enam ratus ribu.” Katanya sambil
memberikan kunci kamarnya.
“
Terimah kasih pak, bapak mau memberiku kesempatan. Sekali lagi makasih pak.” Ucapku
bahagia
Kamar
yang luasnya sekitar tiga meter persegi kubersihkan sampai magrib. Aku sholat
magrib di kamar itu. Di sujud terakhirku kupanjatkan doa.
“Ya
Allah ya Rahman ya Rahim. Hanya kepadamu aku menyembah dan memohon pertolongan.
Sekarang aku memohon kepadaMu untuk memberiku kekuatan dan ketabahan dalam
menghadapi semua ini. Kuyakin Engkau tak akan memberiku ujian di luar
kemampuanku”. Doa dalam sujudku.
Selesai
berdoa kupergi ke kamar temanku meminjam Hpnya dan kutelphon salah satu panitia seleksi beasiswa Etos dan
menanyakan apakah aku lolos. Alhamdulillah , Allah menjawab doaku . Aku diterima
di beasiswa Etos dan malam itu juga aku bisa masuk asrama Etos. Semua barangku
kuangkat dan meminta uangku sama pak Haji. Aku tidak jadi sewa kots. Aku
ucapakan banyak terimah kepadanya. Ku
bersyukur Allah telah memberiku kemudahan dalam setiap kesulitanku, manis dalam
setiap pahitku. Aku hanya mengatakan
selalu ada jalan bagi orang-orang yang mau melangkah. Sekian .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar