Ketika Rindu Berbuah Benci
(Oleh
: Abdul Rahman)
Tepat
pada hari Senin tanggal 11 Januari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang
ke-11. Aku sangat bersyukur mempunyai suami yang sangat setia dan soleh seperti
Mas Yusuf. Mas Yusuf yang banyak menghabiskan waktunya sebagai imam mesjid dan
guru mengaji. Mas Yusuf yang sebagai pemimpin keluarga, orangnya sangat sabar
dan selalu bersyukur, meskipun penghasilannya yang pas-pasan. Setiap tengah
malam dalam sholat Tahajjud kami, selalu terpanjatkan doa,”Ya Allah, ya Rahman,
ya Rahim ya tuhan kami, berikanlah keluarga kami ini kesehatan, kekuatan,
keimanan, keluarga yang tetap selalu sakinah dan kesuksesan serta jauhkanlah
kami dari segala marah bahaya dan musibah yang akan menimpa.”
Kami
cukup bahagia dengan keadaan seperti ini, namun seiring berjalannya waktu dan
lahirnya buah hati kami yang kedua, membuat kami kesusahan memenuhi beberapa
kebutuhan hidup. Kami juga ingin menyekolahkan
anak kami dan memenuhi kebutuhan gizi mereka.
Kami memang tidak mementingkan harta dunia dalam hidup, tapi hidup di
dunia ini akan membutuhkan uang, harta
dan penunjang hidup lainnya. Jika hanya Aku dan suamiku yang hidup dalam
kemiskinan, itu tidak ada masalah, tapi anak-anak kami butuh hidup yang layak.
Aku tidak ingin mereka juga ikut menderita.
Hingga
suatu hari, Aku meminta suamiku untuk mencari pekerjaan lain. Mencari pekerjaan
di kampung gersang dan terpencil ini sangat sulit. Penduduknya telah banyak
yang keluar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Aku sebenarnya tidak
tega menyuruh suamiku juga keluar negeri untuk mencari pekerjaan. Melihat
tetanggaku yang sudah banyak hidupnya sejahtera setelah keluar dari kampung ini
mencari pekerjaan. Suamiku memang tidak punya banyak pengalaman kerja, namun
dia tetap memutuskan untuk pergi ke Malaysia.
“Bu,
saya pergi dulu, jaga dirimu dan anak-anak dengan baik dan doakan saya semoga bisa
berhasil di negeri orang! Jika saya telah mendapat pekerjaan, saya akan
secepatnya mengirim uang untuk kebutuhan Ibu dan anak-anak.” Ucap suamiku
mengecup keninggku.
“Iya Mas, tapi kamu
juga harus jaga dirimu baik-baik.” Kupeluk suamiku dengan erat, air mata
mengalir di pipiku. Lambaian tangannya semakin lama semakin tak tampak dari
kejauhan di mobil Bus itu. Aku memeluk anak-anakku dan kucium mereka
berdua.
Aku
dan suamiku yang selama ini selalu bersama, sekarang dia pergi jauh. Aku
berharap semoga Allah selalu melindunginya. Suamiku yang selalu membangunkan
aku setiap tengah malam sholat Tahajjud bersama. Kasih sayangnya yang tidak
pernah putus dan kelembutan cintanya yang selalu diberikan kepadaku. Suami yang
tidak pernah memarahi dan menyakiti Aku, meskipun Aku selalu mengecewakannya.
Berhari-hari
kulalui hidup tanpa suami di sisi, rasanya tiap detik waktuku disapa rindu.
Keadaan dan perasaan ini mengajarkan Aku sebuah teori, semakin jauh jarak pemisah,
maka semakin kuat pula tarikan rindu dan semakin lama waktu bertemu, maka
semakin berat rasa rindu. Obatnya hanya
satu yaitu pertemuan, namun kabarnya sedikit menepis rindu yang semakin membesar. Dia sudah bekerja di kebun
kelapa sawit. Suamiku mengirim uang sebesar satu juta rupiah. Aku sangat
bersyukur. Akan kugunakan uang ini untuk kebutuhanku dan anak-anakku.
Suamiku
sering sekali mengirim uang untuk kami, dia mengirim uang tiga kali sebulan,
dia bahkan pernah mengirim uang sangat banyak, sekitar lebih sepuluh juta. Aku
sedikit tidak percaya dan heran, apa pekerjaan suamiku dan dimana dia
mendapatkan uang sebanyak itu di Malaysia. Belum cukup dua tahun, suamiku telah
mengirim uang sebanyak dua ratus juta. Setelah Aku teliti, dan mempertanyakan
ke orang yang waktu itu pergi bersama suamiku. Orang itu awalnya tidak mau
cerita, tapi Aku terus membujuk sehingga dia mau menceritakan yang dilakukan
suamiku di sana.
Aku sempat kaget, lemas
tak percaya mendengar yang dikatakan orang itu tentang suamiku, dia bilang kalau
suamiku telah menikah dengan seorang janda satu anak. Janda itu adalah pemilik
kebun kelapa sawit tempat suamiku bekerja. Dia sangat kagum dengan perilaku
suamiku sehingga jatuh cinta dan mengajak suamiku menikah. Suamiku tidak
menolak karena dia tidak ingin melihat kami kekurangan atau hidup miskin.
Suami yang sangat aku
rindukan setiap detik, yang sangat aku cintai dan sayangi. Masih pantaskah Aku
rindukan suamiku yang juga telah menjadi suami orang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar