Minggu, 26 Juli 2015

Cerpen - ketika rindu berbuah benci


 Ketika Rindu Berbuah Benci  
(Oleh : Abdul Rahman)
              Tepat pada hari Senin tanggal 11 Januari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke-11. Aku sangat bersyukur mempunyai suami yang sangat setia dan soleh seperti Mas Yusuf. Mas Yusuf yang banyak menghabiskan waktunya sebagai imam mesjid dan guru mengaji. Mas Yusuf yang sebagai pemimpin keluarga, orangnya sangat sabar dan selalu bersyukur, meskipun penghasilannya yang pas-pasan. Setiap tengah malam dalam sholat Tahajjud kami, selalu terpanjatkan doa,”Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim ya tuhan kami, berikanlah keluarga kami ini kesehatan, kekuatan, keimanan, keluarga yang tetap selalu sakinah dan kesuksesan serta jauhkanlah kami dari segala marah bahaya dan musibah yang akan menimpa.”
              Kami cukup bahagia dengan keadaan seperti ini, namun seiring berjalannya waktu dan lahirnya buah hati kami yang kedua, membuat kami kesusahan memenuhi beberapa kebutuhan hidup. Kami juga ingin  menyekolahkan anak kami dan memenuhi kebutuhan gizi mereka.  Kami memang tidak mementingkan harta dunia dalam hidup, tapi hidup di dunia ini akan  membutuhkan uang, harta dan penunjang hidup lainnya. Jika hanya Aku dan suamiku yang hidup dalam kemiskinan, itu tidak ada masalah, tapi anak-anak kami butuh hidup yang layak. Aku tidak ingin mereka juga ikut menderita.
              Hingga suatu hari, Aku meminta suamiku untuk mencari pekerjaan lain. Mencari pekerjaan di kampung gersang dan terpencil ini sangat sulit. Penduduknya telah banyak yang keluar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Aku sebenarnya tidak tega menyuruh suamiku juga keluar negeri untuk mencari pekerjaan. Melihat tetanggaku yang sudah banyak hidupnya sejahtera setelah keluar dari kampung ini mencari pekerjaan. Suamiku memang tidak punya banyak pengalaman kerja, namun dia tetap memutuskan untuk pergi ke Malaysia.
              “Bu, saya pergi dulu, jaga dirimu dan anak-anak dengan baik dan doakan saya semoga bisa berhasil di negeri orang! Jika saya telah mendapat pekerjaan, saya akan secepatnya mengirim uang untuk kebutuhan Ibu dan anak-anak.” Ucap suamiku mengecup keninggku.
“Iya Mas, tapi kamu juga harus jaga dirimu baik-baik.” Kupeluk suamiku dengan erat, air mata mengalir di pipiku. Lambaian tangannya semakin lama semakin tak tampak dari kejauhan di mobil Bus itu. Aku memeluk anak-anakku dan kucium mereka berdua. 
              Aku dan suamiku yang selama ini selalu bersama, sekarang dia pergi jauh. Aku berharap semoga Allah selalu melindunginya. Suamiku yang selalu membangunkan aku setiap tengah malam sholat Tahajjud bersama. Kasih sayangnya yang tidak pernah putus dan kelembutan cintanya yang selalu diberikan kepadaku. Suami yang tidak pernah memarahi dan menyakiti Aku, meskipun Aku selalu mengecewakannya.
              Berhari-hari kulalui hidup tanpa suami di sisi, rasanya tiap detik waktuku disapa rindu. Keadaan dan perasaan ini mengajarkan Aku sebuah teori, semakin jauh jarak pemisah, maka semakin kuat pula tarikan rindu dan semakin lama waktu bertemu, maka semakin berat rasa rindu.  Obatnya hanya satu yaitu pertemuan, namun kabarnya sedikit menepis rindu yang  semakin membesar. Dia sudah bekerja di kebun kelapa sawit. Suamiku mengirim uang sebesar satu juta rupiah. Aku sangat bersyukur. Akan kugunakan uang ini untuk kebutuhanku dan anak-anakku.
              Suamiku sering sekali mengirim uang untuk kami, dia mengirim uang tiga kali sebulan, dia bahkan pernah mengirim uang sangat banyak, sekitar lebih sepuluh juta. Aku sedikit tidak percaya dan heran, apa pekerjaan suamiku dan dimana dia mendapatkan uang sebanyak itu di Malaysia. Belum cukup dua tahun, suamiku telah mengirim uang sebanyak dua ratus juta. Setelah Aku teliti, dan mempertanyakan ke orang yang waktu itu pergi bersama suamiku. Orang itu awalnya tidak mau cerita, tapi Aku terus membujuk sehingga dia mau menceritakan yang dilakukan suamiku di sana.
Aku sempat kaget, lemas tak percaya mendengar yang dikatakan orang itu tentang suamiku, dia bilang kalau suamiku telah menikah dengan seorang janda satu anak. Janda itu adalah pemilik kebun kelapa sawit tempat suamiku bekerja. Dia sangat kagum dengan perilaku suamiku sehingga jatuh cinta dan mengajak suamiku menikah. Suamiku tidak menolak karena dia tidak ingin melihat kami kekurangan atau hidup miskin.
Suami yang sangat aku rindukan setiap detik, yang sangat aku cintai dan sayangi. Masih pantaskah Aku rindukan suamiku yang juga telah menjadi suami orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar