Minggu, 26 Juli 2015

Cerpen - Demonstran Seumur Hidup


Demonstran Seumur  Hidup
(Oleh : Abd. Rahman)

              Mahasiswa selalu diharapkan untuk menjadi manusia-manusia yang tangguh dan berakhlak mulia. Karena mahasiswa merupakan aset, cadangan dan harapan bangsa yang mendapat peranan untuk menjaga niai-nilai masyarakat. Mampu membawa perubahan. Mengapa mahasiswa harus mampu membawa perubahan? Karena perubahan itu sendiri merupakan harga mutlak dan pasti akan terjadi walaupun kita diam. Bila kita diam secara tidak sadar telah berkontribusi dalam melakukan perubahan, namun perubahan yang terjadi akan berbeda dengan ideology yang kita anut dan kita anggap benar.
Perubahan merupakan sebuah perintah yang diberikan oleh Allah swt. dimana dijelaskan bahwa suatu kaum harus mau berubah bila mereka menginginkan sesuatu keadaan yang lebih baik. Lalu berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung, sedangkan orang yang hari ini tidak lebih baik dari kemarin adalah orang yang merugi. Oleh karena itu betapa pentingnya arti sebuah perubahan yang harus kita lakukan.
Itulah peranku sebagai mahasiswa. Aku tidak ingin hukum di negara ini seperti pisau yang tumpul keatas, tajam kebawah. aktif diberbagai komunitas dan organisasi, baik organisasi fakultas, universitas maupun di luar universitas. Menjadi ketua komunitas dan di organisasi Universitas Merah Putih.
Sevent elevent .Berangkat jam tujuh pagi, pulang jam sebelas malam.  Hampir enam belas jam setiap hari, Aku menghabiskan waktu di kampus. Seperti orang kantoran. Sepulang  kuliah melakukan diskusi-dikusi Mahasiswa. Membahas tentang penomena-penomena Fakultas, problematika Kampus, kasat kusut negara, bahkan gejolak-gejolak di luar negara.
Hati terasa gatal membiarkan penguasa melempar kebijakan yang bisa membuat kepala pecah dan tulang-tulang tak berbalut daging. Aku sangat memahami keluh kesah rakyat miskin. Rumah peninggalan nenekku yang diobrak-abrik Satpol PP tiga tahun lalu, memendam kekecewaan. Sang Ayah supir angkot, dan Ibu penjual kue keliling. Suasana dan lingkungan pemanggil jiwa kepedulian.
Membawa segumpal harapan dari kampung. Dengan tujuan ingin merubah perekonomian keluarga kedepannya dan mengangkat status keluarga atau strata sosial. Doa-doa yang terucap di sujud terakhir dalam sholat sepertiga malam.
“Yaa, Allah berikanlah anakku keselamatan, kesehatan, kekuatan, kesuksesan, dan kebahagian serta jauhkanlah dirinya dari segala marah bahaya.” Terlantum dalam setiap doa orang tua kepada anaknya.
***
Komunitas Cinta Anak Jalanan. Aktivitas yang tidak menghasilkan materi, tetapi melihat sebongkah senyum mereka, rasa bahagia sudah didapat. Mereka yang butuh lambaian tangan dan sedikit perhatian atas perikemanusiaan. Berbagi nasi dan mereka lahap memakannya di bawah kolom jembatang dekat sampah-sampah terbungkus kantong. Turun ke jalan melakukan penggalangan dana untuk orang-orang kolom jembatan dan sesekali memetik gitar,di dalam bus menuju kampus, segenggam uang receh untuk orang-orang karpet kardus.
              Hari ini pembongkaran gubuk-gubuk kumuh di pinggiran kota. Ibu meraung menangis dipaksa keluar, barang-barang dilempar bertaburan. Polisi dengan warga adu dorong dan adu mulut. Rakyat miskin pinggir kota diporak-porandakan bagai kambing yang diburu keluar dari kandang. Mereka dianggap perusak pemandangan kota. Puluh ratusan rakyat harus meneteng barang dan memandangi gubuk-gubuknya dirobohkan.
              Mahasiswa serasa terpanggil dan terpukul dengan perlakuan sang penguasa yang semena-mena. Rakyat adalah sel-sel negara dan pemerintahan. Tubuh akan mati jika sel-sel dimatikan.
“Mana hati nuranimu? Membongkar rumah mereka dan mengusirnya seperti binatang tanpa perikemanusiaan dan keadilan, ” teriakku menggelegar berdiri diantara tumpukan ban menyala-nyala.
“Hidup Mahasiswa!” nikkan kepalan tangan.
“Hidup!”  Balas kawan yang sepakat jalan bersama.
“Hidup Rakyat!”
“Hidup!”
“Hidup Rakyat!”
“Hidup!”
“Hidup Rakyat!”
“Hiduuup!”
“Jangan menelantarkan saudara kami! Kolom-kolom jembatan sudah penuh, apakah kau tega saudara kita beratap langit dan beralas tanah? Mereka butuh saluran tangan bukan pukulan tangan.” Orasi di pinggir jalan. Perisai berdiri mengawasi dan mengelilingi mahasiswa.
              Tak disangka-sangka, ada seorang tak bertanggung jawab yang melepaskan busur ke polisi dan mengenai dada bagian kiri polisi itu. Suasanpun memanas, hingga terjadi cekcok antara polisi dengan mahasiswa. Aku juga emosi melihat pukulan rotan yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa, mereka menyeretnya seperti menyeret kantong sampah. Saling kejar-kejaran dan lempar batu antar keduanya tak terbendung, walaupun beberapa kali tembakan peringatan kearah langit dilakukan. Lima jam bergelut dalam ricuh, peralatan dan pasilitas jalan hancur rancuh.
“Maju!” Teriakku didepan.
“lempar. Lempar, jangan takut!” Intruksiku berani.  Melihat polisi lengah, kami maju terus. Setelah beberapa meter berhasil memukul mundur polisi. Tak terduga, kuterbelalak melihat bantuan polisi yang begitu banyak, muka mereka seram-seram, mirip preman. Satu banding sepuluh, bisa mati konyol kalau masih bertahan.
“Mundur! Semuanya mundur.” Teriakku dengan berjalan pincang. Lutut kananku terkena lemparan. Kami dipukul mundur hingga masuk ke kampus, banyak fasilitas dan taman kampus yang rusak. Ricuh berakhir jam satu malam setelah tentara-tentara datang mengamankan.
***
Banyak pengendara yang berdarah-darah terkena lembaran kesasar. Bahkan ada yang dipukuli polisi yang dikira mahasiswa penyebab ricuh. Kaca-kaca mobil dan jedela bangunan pecah. Banyak Mahasiswa yang ditangkap dan polisi juga tidak sedikit yang mengalami luka-luka. Bahkan beberapa penjual batu akik pinggir jalan mengalami kerugian besar, batu akiknya dipakai melempar. Selain batu akiknya habis dilempar dia juga kena lemparan.
Berita pagi ini membuatku serasa telingaku tertusuk kawat panas mendengar tiga korban akibat bentrok tadi malam. Seorang polisi, pengendara , dan satu orang mahasiswi meninggal dunia. Polisi itu adalah ayah temanku, yang supir dan mahasiswi meninggal di atas mobil angkot. Mahasiswi duduk di dekat supir. Mereka meningggal karena kepalanya kena batu. Sungguh hal yang kusesali dan tak kuinginkan, mahasiswi yang meninggal adalah pacarku, Mita. Aku tidak tau harus menyalahkan siapa. Aku sangat terpukul. Pukulannya sakit sekali melebihi pukulan para polisi. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah demo lagi hingga aku diwisuda.
Di tahun 2014, saat umurku telah mencapai 35 tahun, aku terpilih sebagai presiden. Saat aku menduduki kursi, teringat olehku tentang diriku yang selalu protes terhadap pemerintah. Sekarang aku telah menjadi kepala kepemerintahan. Maka apa yang telah aku lakukan dimasa lamapau, selalu peduli kepada masyarakat bawah, tolak BBM naik, dan menolak kebijakan pemerintah yang meresahkan rakyat, saya harus menjadi  demontran seumur hidup. Mendemo kepada diriku sendiri yang telah menjadi pemerintah jika aku mengeluarkan kebijakan yang bisa meresahkan rakyatku

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar